Seribu Ilmu: Analisis Politik Luar Negri
News Update
Loading...
Showing posts with label Analisis Politik Luar Negri. Show all posts
Showing posts with label Analisis Politik Luar Negri. Show all posts

Monday, March 16, 2020

LoA Atribut Nasional & Sistem Internasional

LoA Atribut Nasional & Sistem Internasional


LoA Atribut Nasional & Sistem Internasional 
Annisa Nur Islamiyah


LoA Atribut Nasional
Dalam menganalisis kebijakan suatu negara terdapat banyak cara bergantung pada level of analysis yang digunakan. Pada paper kali ini, penulis akan membahas mengenai level of analysis Atribut Nasional dan Level of Analysis Sistem Internasional. Dalam melakukan analisis kebijakan luar negeri sebuah negara juga memperhatikan apa yang dimiliki oleh sebuah negara yang disebut dengan atribut nasional. Dalam LoA atribut nasional lebih menekankan pada bagaimana kapabilitas suatu negara dapat berdampak secara langsung pada kebijakan atau bahkan dapat berdampak pada perilaku yang ditunjukkan dalam konteks global. Kajian atribut nasional suatu negara dan kaitannya dengan kebijakan luar negerinya menggunakan 2 kacamata analisis yakni menggunakan ukuran negara, dan yang kedua menggunakan sumber daya alam yang dimilikinya (hudson, 2007).
Seperti yang kita ketahui dalam pengukurannya, negara bisa dikategorisasikan menjadi 2, yakni negara besar dan negara kecil, yang masing-masing memiliki beberapa karakteristik tersendiri. Yang pertama adalah negara kecil, memiliki karakteristik yang hanya mempunyai total populasi kurang dari 10 Juta Jiwa seperti negara Fiji yang hanya memiliki populasi sekitar 1 Juta Jiwa (Koopmann, 2018). Sedangkan karakteristik dari negara besar adalah memiliki populasi lebih dari 10 Juta Jiwa. Misalnya saja China dan Amerika Serikat. Selain itu, negara kecil yang memiliki jumlah populasi masyarakat sedikit juga memiliki kendala bahwa geografisnya kecil, dan hal tersebut cenderung menyebabkan timbulnya kekurangan-kekurangan selanjutnya seperti kurang nya sumber daya manusia yang tidak mencukupi. Maka dari itu, salah satu cara bagi negara kecil untuk menghadapi kekurangan tersebut adalah dengan mencari negara pelindung (negara besar) atau beraliansi dengan negara besar yang lain yang dapat menyelamatkan mereka.
Dalam tingkatan analisis atribut nasional ini juga mempertimbangkan ketersediaan sumber daya alam didalam negara tersebut. Sumber daya alama juga dipertimbangkan dalam menganalisis kebijakan negara karena sumber daya alam merupakan aspek yang tidak merata diseluruh negara. Sumber daya alam juga bisa dipahami melalui analisis geografis yang memang tidak semua wilayah mendapatkan sumber daya alam yang bermacam-macam, ada yang memang kaya akan minyak, ada yang kaya akan batu bara, dan lain sebagainya. Teori yang berkembang dalam studi politik luar negeri ialah bahwa negara yang memiliki sumber daya yang berlimpah akan cenderung pasif sementara negara yang mengalami kelangkaan sumber daya alam akan cenderung agresif.
LoA Sistem Internasional
Pada tingkatan analisis ini lebih menekankan pada bagaimana hal-hal eksternal seperti sistem internasional dapat mempengaruhi pembuatan kebijakan sebuah negara. Pada LoA jenis ini hanya memperhitungkan peran sistem internasional dalam pengambilan keputusan suatu negara. Namun, sebelum menganalisis menggunakan LoA ini, ada beberapa pra-kondisi yang harus dipenuhi terlebih dahulu. Pra-kondisi tersebut antara lain jumlah aktor yang terlibat, distribusi kekuatan, jumlah negara besar yang terlibat, derajat ketaatan negara kecil kepada negara besar, serta peran dari organisasi internasional (hudson, 2007). Fungsi dari Pra-kondisi tersebut pada akhirnya menjadi check list yang harus dipenuhi dalam penelitian.
Misalnya saja, bagaimana keadaan sistem internasional setelah terjadinya perang dingin. Yang pada saat itu Amerika Serikat menjadi superpower dengan menjadi salah satu raja dalam percaturan politik dunia dan membuat sistem internasional kala itu yang unipolar. Sistem internasional tersebut dikarenakan Amerika Serikat tidak memiliki lawan tanding setelah Uni Soviet runtuh. Amerika memiliki kekuatan yang tiada tanding karena negara-negara lain tidak memiliki kapabilitas ekonomi dan politik yang lebih besar dari Amerika Serikat. Dengan kondisi seperti itu, membuat kebijakan luar negeri Amerika Serikat menunjukkan citra bahwa mereka adalah saudara yang baik untuk negara lain dengan memberikan bantuan-bantuan langsung dan mengisi peran sebagai polisi dunia sehingga dapat memberikan hukuman bagi negara yang melanggar aturan.

Bibliography

hudson, V. M., 2007. Foreign Policy Analysis, Classic and Temporary Theory. s.l.:Rowman & Littlefield.
Koopmann, K., 2018. Logistics Capacity Assessment. [Online]
Available at: https://dlca.logcluster.org/display/public/DLCA/1+Fiji+Country+Profile;jsessionid=4D0BD2B082E4E21FB38A6F9B3F8B0E81
[Accessed 7 March 2020].


Pengaruh dan Peran Media dalam Penentuan Kebijakan

Pengaruh dan Peran Media dalam Penentuan Kebijakan

@lunakhoirunnisa

Pengaruh dan Peran Media dalam Penentuan Kebijakan
Luna Khoirunissa

Dalam perumusan kebijakan luar negeri sebuah negara, media memiliki peran yang cukup penting. Media tidak hanya menjadi sumber informasi, namun juga media membentuk sebuah framing tentang suatu hal. Media seringkali juga menjadi sebuah wadah sebagai ‘penyambung lidah’ masyarakat ke pemerintah, yang mana seringkali aspirasi-aspirasi dan kritik dari publik disampaikan melalui media. Paper ini akan menjelaskan bagaimana media berperan sebagai salah satu faktor dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri. Dalam tulisan ini, penulis akan menjelaskan tentang pengaruh media terhadap pembuatan kebijakan luar negeri (influencer) dan bagaimana media dapat menjadi sebuah penentu bagi citra pemerintah terhadap masyarakat.
Media memiliki dua sisi yang memainkan peran dan fungsi yang berbeda. Menurut Naveh (2002), media berperan untuk memberikan input kepada pembuat kebijakan dalam proses pembuatan kebijakan sekaligus sebagai ‘alat’ bagi pemerintah untuk membuat citra yang baik terhadap masyarakat. Bahkan seringkali, pembuat kebijakan (negara) menjadikan media sebagai alat propaganda untuk menyebarkan apa yang menurut pemerintah benar. jadi seringkali pemerintah menggunakan media sebagai alat penggiring opini publik dan menyebarkan kebenaran buatan pemerintah sendiri.
Media memiliki peran dan fungsi di dalam proses pembentukan kebijakan luar negeri. Menurut Harold Laswell (1971) media memiliki tiga peran, yakni: media melakukan pengawasan terhadap lingkungan, media mengkorelasikan bagian-bagian dari masyarakat dengan lingkungan, dan media mentransmisikan budaya sosial dari generasi ke generasi (Laswell (1971) dalam Naveh (2002)). Dengan ketiga fungsi ini, media memainkan perannya dalam menyediakan input bagi proses penentuan kebijakan suatu negara.
Salah satu studi kasus tentang peranan media oleh Laswell (1971) adalah bagaimana media dalam kasus kebakaran hutan di Indonesia membuat Pemerintah Indonesia mengeluarkan sebuah kebijakan luar negeri. Seperti yang telah disebutkan oleh Laswell (1971), media berperan dalam melakukan pengawasan terhadap lingkungan/masyarakat dalam suatu negara. Pengawasan ini dilakukan melalui pemberitaan maupun peliputan yang pada akhirnya dapat menjadi suatu masukan bagi pemerintah untuk menetapkan kebijakan atas suatu isu tertentu. Kasus kebakaran hutan secara masif di Sumatera dan Kalimantan yang disebabkan oleh lahan gambut bekas penanaman kelapa sawit. Berbagai media, baik media nasional maupun internasional memberikan coverage terhadap berita tersebut yang pada akhirnya membentuk sebuah opini publik tentang buruknya kebijakan pemerintah Indonesia terkait kelapa sawit. Timbulnya berbagai macam opini publik tersebut akhirnya memberikan citra yang buruk terhadap Pemerintah Indonesia sekaligus terhadap komoditas sawit. Atas berbagai macam input yang diberikan oleh media, Pemerintah Indonesia akhirnya mencanangkan sebuah kebijakan luar negeri yang bertajuk Diplomasi Sawit untuk menyangkal berbagai asumsi-asumsi buruk terhadap komoditas sawit Indonesia.
Menyadari pentingnya peran media dalam pembentukan opini publik yang akan berdampak pada pembentukan kebijakan, pemerintah pada akhirnya juga menggunakan media sebagai alat pembentukan citra atau image hingga sebagai alat propaganda. Pada masa sekarang, di mana teknologi digital dan media sosial merupakan suatu hal yang penting dalam kehidupan, liputan media terhadap kegiatan dan output pemerintah merupakan hal yang sangat penting bagi penentu kebijakan. Pemerintah pada akhirnya mengatur kebijakan tentang media atau yang disebut dengan media management atau “spin” (Naveh, 2002). Dengan melakukan manajemen media, pemerintah dapat lebih dapat mengatur  dan menentukan informasi yang akan diliput oleh media. Namun, pada akhirnya para jurnalis dan media lebih dibatasi ruang geraknya oleh pemerintah demi menjaga citra dari pemerintah itu sendiri. 

Dinamika Politik Domestik Dan Media Sebagai Alat Analisis Politik Luar Negeri

Dinamika Politik Domestik Dan Media Sebagai Alat Analisis Politik Luar Negeri

Dinamika Politik Domestik Dan Media Sebagai Alat Analisis Politik Luar Negeri PPLN Week 5
Engga Ayu Yulliana / 17044010026
@enggayulliana



Kebijakan Luar Negeri mencakup semua interaksi nation-state secara individu dengan negara-negara lain. Kebijakan Luar Negeri dirancang oleh kepala pemerintahan dengan tujuan mencapai agenda domestik dan internasional yang kompleks. Hal tersebut biasanya melibatkan serangkaian langkah yang rumit dan di mana politik domestik memainkan peran penting. Kebijakan luar negeri dalam banyak kasus dirancang melalui koalisi aktor dan kelompok domestik dan internasional. Ketika menganalisis kepala pemerintahan atau dengan kata lain pelaksana kebijakan luar negeri banyak faktor yang dapat memotivasi dapat diidentifikasi untuk menjelaskan alasan di balik keputusan yang diambil. Beberapa faktor pengaruh termasuk kepribadian dan kognisi pemimpin itu sendiri, tingkat rasionalitas, politik dalam negeri dan kelompok kepentingan internasional dan domestik. Namun dari semua faktor yang disebutkan itu adalah lingkungan politik domestik yang membentuk seluruh kerangka pengambilan keputusan di suatu negara bahkan dalam konteks internasional. Keputusan internasional yang diambil oleh kepala pemerintahan tergantung pada politik dalam negeri. Sistem politik akan menentukan ruang lingkup kepala dan kekuasaan dalam pengambilan keputusan kebijakan luar negeri.
Politik domestik merupakan salah satu hal yang berpengaruh terhadap pembuatan kebijakan luar negeri suatu negara. Secara umum, politik domestik adalah segala kegiatan yang bersifat politis dan terjadi di dalam negeri. Hudson (2014) menegaskan kebijakan luar negeri suatu negara merupakan kepanjangan dari kebijakan politik domestiknya. Definisi yang sesuai dari teori IR domestik-politik adalah definisi di mana setidaknya satu negara direpresentasikan sebagai non-unitary, dan setidaknya satu negara tersebut mengejar kebijakan luar negeri suboptimal karena, entah bagaimana, dengan interaksi aktor yang diwakili dalam negara yang suboptimal diputuskan dengan mengacu pada kebijakan luar negeri apa pun yang diinginkan secara ideal dalam kasus-kasus di mana analisis principal-agent berlaku (seperti dalam negara-negara demokrasi). Secara sederhana dapat dikatakan bahwa level analisis politik domestik melihat bagaimana kondisi politik domestik suatu negara yang didalamnya terdapat banyak aktor yang terlibat dapat mempengaruhi hasil kebijakan luar negeri suatu negara. Para pemimpin nasional, terutama kepala pemerintahan harus memainkan two level game antara politik internasional dan domestik. Menurut Neack (2008), kepala pemerintahan dalam segala jenis sistem politik termotivasi oleh dua tujuan yang sama: mempertahankan kekuatan politik dan membangun dan memelihara koalisi kebijakan. Politik dalam negeri juga dapat mempengaruhinya karena ia ingin mencapai tujuan domestik melalui kebijakan luar negeri atau ia ingin keputusan kebijakan luar negerinya tidak mengganggu agenda dalam negeri. Sebelum mempertimbangkan karakteristik lain dari kebijakan yang diinginkan, akseptabilitas kemungkinan besar akan dipertimbangkan. Kepala pemerintah harus mempertimbangkan sentimen domestik serta situasi internasional. Jika ada konflik antara kepentingan domestik dan internasional, kepala pemerintahan mungkin akan memberikan penekanan pada kepentingan domestic (Farnham, 2004).
Pengaruh penting di luar lingkungan politik bagi kepala pemerintahan adalah media negara dan pendapat masyarakat umum. Ada hubungan yang kompleks antara kepala pemerintahan, pembuat kebijakan, partai oposisi, media dan masyarakat umum (Neack, 2008). Ketika masalah kebijakan luar negeri muncul, pembuat kebijakan di bawah pemerintahan kepala pemerintahan menyajikan masalah dan solusinya. Terkadang media bisa mengalahkan pemerintah dan mempresentasikan kerangka kerja mereka sendiri. Masalah ini dapat disajikan sedemikian rupa untuk mempengaruhi opini publik. Namun responnya tergantung pada kesamaan solusi dengan budaya politik negara yang ada. Bagaimana sebenarnya politik domestik penting dalam menentukan kebijakan luar negeri suatu negara? Sederhananya, politik dalam negeri dapat menjadi sangat penting apabila (a) politik domestik tersebut membuat negara tersebut memiliki tujuan suboptimal dalam kebijakan luar negeri, atau (b) ketika perbedaan dalam institusi politik negara, budaya, struktur ekonomi, atau tujuan kepemimpinan yang tidak terkait dengan kekuatan relatif yang nantinya dapat secara relevan untuk menjelaskan berbagai pilihan kebijakan luar negeri yang lebih variatif. Rangkaian penjelasan politik-domestik yang sesuai kemudian mencakup tidak hanya kebijakan luar negeri suboptimal, tetapi juga kasus-kasus di mana karakteristik negara selain tokoh kekuasaan relatif dalam menjelaskan variasi dalam kebijakan luar negeri. Dalam pengertian ini, segala macam fakta tentang negara tertentu dapat menjadi elemen penjelasan domestik-politik — misalnya, budaya politik suatu negara, apakah negara itu demokrasi, atau apakah partai yang sama mengendalikan eksekutif dan legislatif dalam suatu sistem presidensial (Fearon, 1998).

References

Farnham, B. (2004). Impact of the Political Context on Foreign Policy Decision-Making. Political Psychology. Prospect Theory.
Fearon, J. (1998). Domestic Politics, Foreign Policy, and Theories of International Relations. Annual Review of Political Science.
Hudson, V. M. (2014). Foreign Policy Analysis, Classic and Contemporary Theory. Maryland: Rowman & Littlefield.
Neack, L. (2008). The New Foreign Policy- power seeking in a globalized era (2nd Ed.). Rowman & Littlefield Publishers Inc.


Monday, February 17, 2020

Identity Level of Analysis: The Influence of Identity Toward Foreign Policy

Identity Level of Analysis: The Influence of Identity Toward Foreign Policy

@Shertinarara


Explanations from identity and culture have experienced a general revival in IR theory recently, sometimes as part of the constructivist turn (Finnemore 1996; Hudson 1997; Katzenstein 1996; Lapid and Kratochwil 1996a), sometimes within more rationalist frameworks (Posen 1993a, 1993b; Van Evera 1994). In international relations debate, there are set of different theoretical argument regarding to the identity. Neo-realism believe that international cooperation begin from the same construction of the state identity. Keohane as a Neo-liberalist challenged Neo-realist argument that even “self-help” identity-as starting point of international cooperation- there is also a possibility of state that has different identity to cooperate.

Constructivist approach is the most noticed identity related theory in international relations. Alexander Wendt’s however, concentrate on international systemic theory and thus on identities in the sense of the general meaning of ‘state’, of ‘sovereignty’ or of ‘anarchy’ (Wendt 1992, 1999). He can tell why a certain identity recognized but not what identity is which means it does not help to answer how state interpret the structure in international politics and their position in order to interact with other state. However, the constructivist assumption has not explained more general and systematic policy theory. Constructivism seems committed to the dichotomy of ideational and material. Therefore constructivist perspective confines identity to realm of ideational factors such as foreign policy.

In order to resolve ideational problem we need to shift toward poststructuralist approach. This approach believe that most of the identity needs complex and multidimensional system to make sense. Identity is a relational concept that produced from juxtapositions between selves to another. Other than that, historical concept of the country play important role on producing identity. Poststructuralist analyses have shown the importance of the Other for the construction of the identity of the self, we turn the focus to investigate more systematically, theoretically as well as empirically, the elements involved in the construction of the self (Hudson, 1997).

Identity and foreign policy are involving security in the sense of high politics. Foreign policy is self can be partially explained by national discourse that works on public texts. However, these public texts do not try to get to the motives of the actors or their hidden political message. A discourse is a system for the formation of statements’ (Foucault 1972; Dreyfus and Rabinow 1982; Bartelson 1995: 70). Therefore, Discourse is a logical system, ideas and image that construct an culture. Culture shapes identity that creates National self-image of who we tell others and ourselves. Effectiveness of foreign policy depends of a shared sense of national identity.

Identity Level of Analysis (LoA) using policy speeches, documents and interview as a discourse to be analyzed. Identity is a “road map” for policy maker to simplify and facilitate an understanding of a complex political reality. Rational theory tends to ignore endogenous dynamics and focus on material utility maximisation, while a reflective approach emphasises the impact of cultural practices, norms and values on perceptions of interests (Keohane 1988). In this argument, Neo-realist neglect that national interest also constructed by norms and value. These component are the script of state behavior in international relations.


References:

Bartelson, J. (1995) A Genealogy of Sovereignty, Cambridge: Cambridge University Press.

Campbell. (1990). Global Inscription: How Foreign Policy Constitutes the United States. Alternatives: Global, Local, Political, Vol. 15, No, 1 (Summer 1990), pp. 263-286.

Dreyfus, H. L. and Rabinow, P. (1982) Michel Foucault: Beyond Structuralism and Hermeneutics, New York: Harvester Wheatsheaf.

Finnemore, M. (1996) National Interests in International Society, Ithaca, NY: Cornell University Press.

Foucault, M. (1972) The Archaeology of Knowledge, London: Pantheon.


Hudson, V. M. (1997) ‘Culture and Foreign Policy: Developing a Research Agenda’, in Hudson (ed.), Culture & Foreign Policy, Boulder, Col.: Lynne Rienner, pp. 1–26.

Lapid, Y. and Kratochwil, F. (eds) (1996a) The Return of Culture and Identity in IR Theory, Boulder, Col.: Lynne Rienner.


Keohane, R. (1988), International Institutions: Two Approaches. International Studies Quarterly vol 32, no 4.

Posen, B. (1993a) ‘The Security Dilemma and Ethnic Conflict’, Survival 35, 1: 27–47.

Waever, Ole. (2003). Identity, Communities and Foreign Policy: Discourse Analysis as Foreign Policy Theory, pp 20-49



Tuesday, February 11, 2020

Kebijakan Luar Negeri dan Level Analisisnya

Kebijakan Luar Negeri dan Level Analisisnya



Politik internasional merupakan sebuah diskursus komperehensif mengandung unsur yang beragam, salah satunya kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri adalah serangkaian kebijakan yang ditempuh oleh suatu negara dalam berusuan dengan negara lain untuk mencapai tujuan nasional. kebijakan-kebijakan ini bisa dianalisis menggunakan pendekatan-pendekatan teoretis politik internasional. Hasil dari analisis ini akan digunakan untuk menjelaskan mengapa suatu kebijakan ditempuh, untuk apa kebijakan tersebut dijalankan , dan bagaimana kebijakan tersebut bekerja.
Analisis kebijakan luar negeri setidaknya masih didominasi oleh tigavarian teori, yakni realism, liberalism, dan kontruktivisme. Realisme menjadi salah satu teori utama yang menjelaskan bagaimana kebijakan luar negeri diambil sebagai reaksi dari sistem internasional yang anarki. Prinsip utama yang hadir di antaranya ialah negara akan dipersepsikan sebagai sebuah kelompok dengan solidaritas tinggi yang sangat memungkinkan akan memiliki konflik dengan kelompok lain—groupisme (Wohlforth, 2001). Tidak adanya aturan dan garansi bahwa perdamaian akan tercipta dari sistem ini menyebabkan masing-masing negara berusaha untuk mencapai kekuasannya masing-masing dan sangat egois untuk mempertahankan kekuasaannya tersebut (Wohlforth, 2001). Akibatnya, dua perilaku akan ditimbulkan, yakni apakah suatu negara memilih kebijakan yang defensive dengan tujuan mengamankan dirinya atau setidaknya memberikan sinyal ia memiliki niatan perdamaian atau kebijakan offensive yang memilih untuk menaikkan kapabilitas karena ketidakpercayaan negara lain akan serius untuk berdamai. Sehingga dinamika dalam sistem internasional yang terjadi ialah terjadinya balance-threat, perlakuan hegemoni, dan transisi kekuasaan dalam politik internasional.
Sebaliknya, meskipun benar bahwa sistem internasional anarki, liberalisme percaya bahwa semestinya kondisi alamiah yang terjadi tidaklah demikian (Doyle, 2008). Moral kebebesan—laissez faire dan kesejahteraan sosial—yang menjadi fondasi utama teori liberalisme menghasilkan sebuah kebijakan luar negeri yang demokratis. Demokratisme ini muncul sebagai kebutuhan dari pemerintah sebab kondisi domestik negara liberal memiliki mekanisme sedemikian rupa untuk menjaga opini publik yang demokratis tersampaikan kepada pemerintah. Kebijakan luar negeri yang tercipta dalam liberalisme pun didominasi oleh pandangan perdamaian dan mengusahakan perdamaian.
Karakteristik pola interaksi dalam liberalism dijelaskan oleh tiga pandangan utama (Doyle, 2008), yakni Lockean yang memandang bahwa warga negara pada dasarnya adalah aktor rasional mandiri yang sangat menghargai hak orang lain; komersialis yang mengacu pada pandangan bahwa individu sangat materialistis sehingga perkawinan antara kapitalisme dan demokrasi mayoritas mampu melayani sifat kompetisi mereka yang berakibat pada pasifisme (suka perdamaian); dan tiga syarat kondisi damai oleh Kant, yaitu: 1) perwakilan repulik yang bertanggung jawab kepada warga negara, 2) komitmen perdamaian yang berdasarkan pada pernghargaan terhadap hak-hak individu lain. dan 3) kemungkinan interdependensi sosial-ekonomi.
Pandangan lain kemudian hadir dari kontruktivisme yang tidak berfokus kepada sebuah sistem dan negara, tetapi bagaimana memandang negara sebagai seseorang yang dibentuk dalam masyarakat internasional (Wendt, 1999 dalam ). Negara memiliki keinginan, kepercayaan, dan intensionalitas yang tidak dapat direduksi.  Oleh Wendt (1999 dalam Kubalkova, 2001) negara harus dilihat sebagai aktor yang  sengaja memiliki kepentingan nasional—kelangsungan hidup fisik, otonomi, kesejahteraan ekonomi, dan harga diri kolektif—yang berelasi terhadap sistem internasional.  Negara membentuk "identitas dan kepentingan mereka dengan berinteraksi satu sama lain" (Wendt 1999 dalam Kubalkova 2001) dan  bukan hasil dari perdebatan antara aktor domestik atau bahkan proses politik dalam negeri (Kubalkova, 2001).
Dari serangkaian penjelasan teoretis tersebut, dalam melakukan analisis kebijakan luar negeri penting bagi para sarjana untuk melakukan tingkatan analisis. Tingkatan analisis ini setidaknya dibagi menjadi tiga, yakni analisis sistem internasional, negara sebagai aktor, dan identitas yang dibentuk dalam relasi negara dalam sistem internasional itu sendiri. Tingkatan analisis ini setidaknya dibutuhkan untuk: 1) mencapai akurasi deskripsi fenomena yang dianalisis; 2) mencapai kapabilitas eksplanasi yang parsimonious; dan 3) mampu memberikan prediksi andal dari suatu fenomena yang dianalisis (Singer, 1961).
Daftar Pustaka
Doyle, W. M., 2008. Liberalism and Foreign Policy. In: S. Smith A. H.. T. Dunne, eds. Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. Oxford: Oxford University Press, pp. 54-77.
Kubalkova, V., 2001. Foreign Policy in a Constructed World. 1st ed. New York: Routledge.
Singer, D., 1961. The Level-of-Analysis Problem in International Relations. JSTOR, 14(1), pp. 77-92.
Wohlforth, C. W., 2008. Realism and Foreign Policy. In: S. Smith & A. H. T. Dunne, eds. Foreign Policy: Theories, Actors, Cases. Oxford: Oxford University Press, pp. 35-50.

Monday, February 10, 2020

Level Analisis Individu Dalam Perbandingan Politik Luar Negeri

Level Analisis Individu Dalam Perbandingan Politik Luar Negeri




Pada awalnya sarjana realis melihat politik luar negeri bukanlah sesuatu yang dihasilkan dari ideosinkretik—mode perilaku atau cara berpikir yang khas bagi seorang individu—melainkan dari pilihan rasional (Neack, 2008). Sebab apabila pemimpin negara  berfokus pada motif dan preferensi ideologis, mereka tidak akan mampu menempuh perilaku yang selaras dengan kepentingan nasional. Sehinggaproponen seperti Bruce Russett, Harvey Starr, and David Kinsella mengartikulasikan politik luar negeri sebagai “panduan untuk tindakan/perilaku yang diambil di luar batas negara untuk mencapai tujuan nasional”. Namun, Charles Herman menyebut konsep politik luar negeri tersebut sebagai konsep yang terabaikan (Neack, 2008). Ia memberikan definisi tandingan bahwa sejatinya politik luar negeri adalah “tindakan sengaja yang terpisah dan dihasilkan dari keputusan tingkat politik individu atau kelompok individu” atau dengan kata lain merupakan perilaku dari negara itu sendiri (Neack, 2008).
Pada tahun 1954 dan 1963, Richard Snyder, H. W. Bruck, dan Burton Sapin memberikan pilihan metodologis dasar untuk mendefinisikan negara sebagai pembuat keputusan resminya—mereka yang tindakan otoritatifnya memiliki maksud tujuan tindakan negara (Neack, 2008). Sederhananya tindakan negara adalah tindakan yang diambil oleh mereka yang bertindak atas nama negara dan sangat memungkinkan memiliki perilaku yang berbeda-beda. Dengan kata lain bahwa pemimpin negara akan selalu memiliki dampak dari apayang mereka lakukan (Breuning, 2007). 
Berangkat dari perdebatan ini, para sarjana menyarankan perlunya kebijakan luar negeri dianalisis dari berbagai sumber, termasuk biografi dari masing-masing pembuat keputusan serta kerangka kerja organisasi di mana keputusan tersebut dibuat (Neack, 2008). Secara umum, tujuan analisis ini dimaksudkan untuk memahami bagaimana para pemimpin melihat dunia, apa yang memotivasi mereka, dan bagaimana mereka membuat keputusan (Breuning, 2007).
Selanjutnya, ada tiga unit pendekatan dasar analisis tingkat individu yang dikembangkan Hermann dan Hermann (dalam Neack, 2008), yakni: a) pemimpin tunggal, dominan, yaitu individu yang memiliki kekuatan untuk membuat pilihan dan melumpuhkan oposisi; b) kelompok tunggal, yaitu seperangkat individu yang secara kolektif memilih tindakan dalam interaksi tatap muka; dan c) kelompok yang terdiri dari beberapa unit otonom.
Untuk memahami bagaimana seorang pemimpin membuat suatu keputusan setidaknya kita harus memahami beberapa hal. Pertama, psikologi politik pemimpin negara. Hal ini tentu berkaitan dengan kepribadian mereka yang memengaruhi pengambilan keputusan dalam dua cara: a) persepsi para pemimpin tentang peristiwa-peristiwa tertentu dan dunia secara umum yang dapat memprediksi tindakan dan reaksi—ini dibentuk dari kepercayaan, persepsi, dan kognisi; b) cara mereka mengorganisasi staf tempat pemimpin mengandalkan  informasi dan saran (Breuning, 2007).  Selain itu faktor-faktor seperti orientasi konflik, ketidakpercayaan, kebutuhan akan kekuasaan, dan orientasi tugas memengaruhi tipe keputusan: a) apakah keputusan membantu atau menghambat kepentingan nasional; dan b) apakah suatu keputusan memiliki dampak eskalasi atau de-eskalasi konflik (Walker dkk, 2011).
Selain itu, kualitas pengambilan keputusan dalam suatu kebijakan dapat dipengaruhi oleh hal-hal seperti keterbukaan pemimpin terhadap informasi, orientasi kontrol, tingkat kepercayaan, orientasi tugas, dan lain-lain (Walker dkk, 2011). Terkadang mereka memerlukan satu kelompok penasihat sebagai sebuah think tank, di mana penasihat atas menggunakan informasi yang tersedia untuk bersama-sama membuat representasi dari masalah kebijakan luar negeri, menentukan kepentingannya di antara masalah kebijakan luar negeri lainnya, dan memperdebatkan cara terbaik untuk meresponsnya (Breuning, 2007). Atau memiliki kelompok dengan tipe komando, di mana kelompok tersebut bersama-sama menentukan tindakan kebijakan luar negeri. Dalam peran ini, kelompok tersebut membangun peran lembaga think tank untuk mengembangkan opsi, mengevaluasi mereka, memilih yang paling yang tepat, dan akhirnya membuat keputusan (Breuning, 2007).
Ketiga kita harus memahami bahwa setiap sistem memiliki jebakannya sendiri. Pemimpin memang berfungsi baik jika sistem organisasi pengambilan keputusan sesuai dengan kepribadian mereka. Namun,bagaimanapun  model proses organisasi memandang pemerintah sebagai kumpulan organisasi, terkoordinasi secara terpusat di puncak (Naeck, 2008). Masing-masing memiliki spesialisasi dan keahlian, tetapi diringi dengan prioritas dan persepsi mereka sendiri (Breuning, 2007). Kekhasan inilah yang membentuk setiap organisasi memiliki cara adat sendiri atau prosedur operasi standar. Oleh karenanya setiap pemimpin pasti memiliki gaya pendekatan tersendiri terhadap  entah formalistik, kompetitif, atau kolegial.
Terakhir, model politik birokrasi menekankan bahwa persepsi dan prioritas penasihat dibentuk oleh organisasi yang mempekerjakan mereka dan juga ambisi dan kepentingan pribadi mereka (Breuning, 2007). Perundingan menjadi proses pengambilan keputusan yang melibatkan memberi dan menerima. Preferensi pembuat kebijakan tidak pernah sepenuhnya membentuk keputusan, tetapi seringkali secara parsial. Akibatnya, pilihan kebijakan menjadi hasil akhir dari tawar-menawar yang kompleks di berbagai tingkatan (Breuning, 2007).

Daftar Pustaka
Breuning, M. (2007). Foreign policy analysis: A comparative introduction. Springer.
Neack, L. (2008). The new foreign policy: power seeking in a globalized era. Rowman & Littlefield Publishers.
Walker, S. G., Malici, A., & Schafer, M. (2011). SMALL GROUP DYNAMICS: The Psychological Characteristics of Leaders and the Quality of Group Decision Making. In Rethinking Foreign Policy Analysis (pp. 126-143). Routledge.



Featured

[Featured][recentbylabel2]

Featured

[Informasi%20Lingkungan][recentbylabel2]
Notification
This is just an example, you can fill it later with your own note.
Done